Teori Dan Teknik Konseling: Teori Rogers Client Centered
Sabtu, 28 September 2013 @ 23.34 | 0 Comment [s]
A. . Pandangan
teori client-centered terhadap hakikat manusia.
Pendekatan
person-centered memiliki keyakinan bahwa individu pada dasarnya baik. Hal ini
dideskripsikan lagi bahwa manusia memiliki tendensi untuk berkembang secara
positif konstruktif realistis, dan dapat di percaya. selanjutnya setiap manusia
memiliki dorongan dari dalam untuk mengembangkan strategi yang membuat dirinya
berfungsi penuh, anti-sosial merupakan hasil dari kuat dirinya berfungsi penuh
(Corey, 1986, p. 102). Menurut pendekatan person-centered, manusia dipandang
sebagai insan rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang manusia yang
memiliki perasaan yang negatif dan emosi anti-sosial merupakan hasil dari
kefrustrasian atas tidak terpenuhnya implus-implus dasar, ide yang berhubungan
dengan hirarki kebutuhan Maslow. Contohnya, tingkah laku agresif merupakan
ekspresi frustasi dari tidak terpenuhi nya kebutuhan dasar tentang cinta dan belonging (Thompson, et.al., 2004, p. 160).
Pendekatan ini juga
memandang bahwa manusia memiliki kemampuan untuk merasakan pengalaman, yaitu
mengepresikan dari pada menekan pikiran-pikiran yang tidak sesuai dalam
kehidupan kearah yang lebih sesuai dalam kehidupan ke arah yang lebih sesuai.
Menurut Rogers, manusia melangkah maju ke arah penyesuaian psikologis (
pyschological adjustment ). Hal ini disebabkan karena manusia memiliki
kapasitas untuk mengatur dan mengontrol tingkah lakunya. secara ringkas,
konselor dengan pendekatan person-centered
percaya bahwa manusia adalah:
1. Memiliki kapasitas dan hal untuk mengatur dirinya
sendiri dan mendapat kesempatan dan membuat penilayan yang bijaksana
2. Dapat memilih nilainya sendiri
3. Memiliki kapasitas untuk mengatasi perasaan, pikiran
dan tingkah lakunya
4. Memiliki potensi untuk berubah secara konstuktif dan
dapat berkembang kearah hidup yang penuh dan memuaskan (full and satisfiying life) dengan kata lain aktualisasi diri (self
-actualisation) (Thompson, et,al., 2004, p 160).
B. Karakteristik dan Asumsi Dasar Teori Client-
Centered
*
Ciri-Ciri Pendekatan
Client-Centered.
Rogers (1974, hlm.213-214) menuraikan
cirri-ciri yang membedakan pendekatan client-centered
dari pendekatan-pendekatan lainnya. Pendekatan client-centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan
klien untuk mrnrmukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Klien
sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus
menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
Pendekatan client-centered menekankan
dunia fenomenal klien. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha untuk
memahami klien. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha untuk memahami
kerangka acuan internal klien, terapis memberikan perhatian terutama pada
persepsi diri klien dan persepsinya terhadap dunia.
Menutut pendekatan client-centered, psikoterapi hanyalah satu contoh dari hubungan
pribadi yang konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan psikoterapeutik di dalam
dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang
tidak bisa dilakukannya sendirian. Itu adalah hubungan dengan konselor yang
selaras (menyeimbangkan tingkah laku dan ekspresi eksternal dengan
perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran internal), bersikap menerima dan
empatik yang bertindak sebagai agen perubahan terapeutik bagi klien.
Rogers mengajukan hipotesis bahwa ada
sikap-sikap tertentu pada pihak terapis (ketulusan, kehanggatan, penerimaan
yang nonposesif, dan empati yang akurat) yang membentuk kondisi-kondisi yang
diperlukan dan memadai bagi keefektifan terapeutik pada klien. Terapi client-centered memasukan konsep bahwa
fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta
memusatkan perhatian pada pengalaman di –sini-dan-sekarang yang tercipta
melalui hubungan antara klien dan terapis.Teori client-centered bukan suatu teori yang tertutup melainkan suatu
teori yang tumbuh melalui observasi-observasi konseling bertahun-tahun dan yang
secara sinambung berusaha sejalan dengan peningkatan pemahaman terhadap manusia
dan terhadap proses terapeutik yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian baru.
Jadi, terapi client-centered bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu dogma.
Pendekatan client-centered, yang
berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditunjukan oleh terapis,
barangkali paling tepat dicirikan sebagai suatu cara ada dan sebagai perjalanan
bersama di mana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan
berpartisipasi dalam pengalaman-pengalaman.
*
Konsep Dasar Teori Client-Centered
Pendekatan person-centered dibangun atas dua
hipotesis dasar, yaitu:
1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami
keadaan yang menyebabkan ketidak bahagian dan mengatur kembali kehidupannya
menjadi lebih baik
2. Kemampuan seseorang untuk menghadapi kenyataan ini
dapat terjadi dan ditingkatkan jika konseler dapat menciptakan kehangatan,
penerimaan dan dapat memahami relasi (proses konseling) yang sedang dibangun (
Corey, 1986, p. 105). Untuk itu, Rongers mengemukakan konsep kepribadian yang
terdiri dari tiga aspek, yaitu:
·
Organism, merupakan individu itu sendiri, mencangup aspek
fisik maupun psikologis.
·
Phenomenal
Field, yaitu
pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna secara psikologis bagi individu,
dapat berupa pengetahuan, pengasuhan orangtua, dan hubungan
·
Self, yaitu interaksi antara organisme atau individu
dengan phenomenal field akan membentuk
self (''i/''me''/saya). Kesadaraan tentang self akan membantu seseorang
membedakan dirinya dari orang lain. dalam hal ini, self yang sehat (the real
self), maka individu memerlukan penghargaan, kehangatan, perhatian dan
penerimaan tanpa syarat. akan tetapi, jika seseorang akan merasa berharga
apabila bertingkah laku sesuai dengan yang dikehendaki orang lain, maka yang
akan terbentuk adalah ideal self. Dalam pandangan ini, masalah muncul karna
adanya ketidak sesuaian antara ideal self dengan real self.
·
Contohnya: ''kamu memang anak yang baik,
pinter, dan membanggakan. Mama senang akhirnya kamu pilih jurusan IPA ''
(padahal potensi dan perolehan nilai pada nilai rumpun mata pelajaran IPA hanya
cukup). oleh karena nya, saat berada pada pengalaman nyata (phenomenal field), ia menemukan ternyata persepsi dirinya (ideal self) yang berbentuk (anak baik,
pintar dan membanggakan) tidak sesuai dengan reabilitas (real self) karena potensi yang dimiliki tidak mendukung untuk ia
berada di jurusan ipa, yang akhirnya pada anak memiliki banyak hambatan dalam
mengikuti proses belajar. jadi, masalah yang dialami seseorang timbul karena
adanya ketidaksesuaian (incongruence)antara persepsi diri (ideal self) dengan realitas (real
self ).
C. Tujuan Konseling
Konseling
personcentered bertujuan membantu konselimenemukan konsep dirinya yang lebih
positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukan konseli sebagai
orang yang penting, dan orang yang memiliki positif dengan penerimaan tanpa
syarat (unconditional positive regard),
yaitu menerima konseli apa adanya. Tujuan utama pendekatan person centered
adalah pencapaian kemandirian dan integrasi diri. dalam pandangan Rogers (1977)
tujuan konseling bukan semata-mata menyelesaikan masalah tetapi membantu
konseli dalam proses pertumbuhannya sehingga konseli dapat mengatasi masalah sendiri
dimasa yang akan datang (Corey, 1986,p. 103 ).
Tujuan dasar pendekatan
person - centered dapat terlihat dari pendapat Rogers ( 1961 tentang individu
yang dapat mengktualisasikan diri. individu yang dapat mengaktualisasikan diri.
individu yang mengaktualisasikan diri dapat dilihat dari karakteristik yaitu:
·
Memiliki
keterbukaan terhadap pengalaman (openness
to experence).
Keterbukaan terhadap pengalaman meliputi kemampuan
untuk melihat realitas tanpa mengganggu untuk menyesuaikan pada self-structure
yang telah terbentuk sebelumnya. hal ini berarti pula bahwa individu keyakinan
yang tidak kaku, dapat terbuka terhadap pengetahuan baru, dapat berkembang dan
toleran terhadap ambiguitas. kemudian, individu memiliki kesadaraan tentang
dirinya pada saat ini dan kapasitas untuk mengalami diri dengan cara yang lebih
baik ( Corey, 1986,p. 104 ).
·
Kepercayaan
pada diri sendiri (self-trust)
Salah satu tujuan konseling adalah membantu konseli mengembangkan
rasa percaya pada diri sendiri. Pada awal proses konseling kepercayaan diri
konseli biasanya sangat rendah sehingga tidak dapat mengambil keputusan secara
mandiri. Dengan menjadi lebih terbuka, konseli mengembangkan kepercayaan kepada
diri secara perlahan-lahan (Corey, 1986, p. 104).
·
Sumber internal
evaluasi (internal source of evaluation)
Internal source of evaluation
berarti individu mencari pada diri sendiri tentang jawaban atas masalah-masalah
eksistensi diri. Individu dibantu untuk memahami diri dan mengambil keputusan
secara mandiri tentang hidupnya (Corey, 1986, p. 104).
·
Keinginan yang
berkelanjutan untuk berkembang (willingness to continue growing).
Pembentukan self dalam process of becoming merupakan inti dari
tujuan pendekatan person-centered. Self bukan dipandang sebagai
produk dari proses konseling. Walaupun tujuan dari konseling adalah self yang
berhasil, yang paling penting adalah proses berkelanjutan dimana konseli
mendapatkan pengalaman baru dan mendapatkan kesadran diri (Corey, 1986, p.
104).
Empat karakteristik diatas memberikan frame kerja untuk memahami
arah proses konseling. Konselor tidak memilih tujuan konseling untuk konseli tetapi
memfasilitasinya melalui penciptaan hubungan terapeutik (Corey, 1986, p. 105).
D. Fungsi dan Peran Konselor
Kemampuan konselor
dalam membangun hubungan interpersonal dalam proses komunikasi konseling
merupakan kunci keberhasilan konseling. Dalam peran konselor menunjukan sikap
selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat
1)
Kongruen
(Congruence) atau Keaslian (Genuineness)
Congruence berarti bahwa
konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi dan otentik.
Seorang konselor harus dapat menampilkan kekongruenan anatara perasaan dan
pikiran yang ada di dalam dirinya (inner) dengan perasaan, pandangan dan
tingkah laku yang diekspresikan (outer). Konselor yang otentik menampilkan
diri yang spontan dan terbuka baik perasaan dan sikap yang ada dalam dirinya
serta dapat berkomunikasi secara jujur dengan konseli (Corey, 1986, p. 108).
Hal ini bukan berarti bahwa konselor dapat menampilkan sikap impulsive dan
berbagai perasaan dan pikiran dengan konseli. Konselor yang diharapkan dapat
melakukan self-disclosure yang sesuai dengan kondisi konseli dan
substansi topik yang dibicarakan dalm konseling. Hal ini dapat dilakukan dengan
mendengarkan konseli secara sungguh-sungguh dan memahami permasalahannya.
Keaslian konselor dapat terlihat melalui respons-respons konselor yang muncul
secara alamiah, asli, dan tidak dibuat-buat, sehingga tidak berlebihan (Corey,
1986, p. 102, 108).
2)
Penerimaan
tanpa Syarat (Unconditional Positive Regard and Acceptance)
Unconditional Positive Regard berarti bahwa konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara
mendalam dan jujur sebagai pribadi. Hal ini berarti bahwa konselor tidak
melakukan penilaian dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran dan tingkah laku
konseli berdasarkan standar norma tertentu (Corey, 1986, p. 108). Sedangkan acceptance
adalah menunjukkan penghargaan yang spontan terhadap konseli, dan menerimanya
sebagai individu yang berbeda dengan konselor. Perbedaan antara konselor dapat
terjadi pada nilai-nilai, persepsi diri, maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
Penerimaan ini bertujuan membangun hubungan terapeutik menjadi lebih
konstruktif (Corey, 1986, p. 102).
Penelitian Rogers (1977)
mengindikasikan bahwa semakin besar derajat perhatian (caring),
pemberian (prizing), penerimaan, dan penghargaan terhadap konseli dengan
cara yang tidak posesif, akan semakin besar pula kesempatan untuk mencapai
kesuksesan konseling. Rogers juga berkata bahwa tidak mungkinbagi konselor
untuk menerima (acceptance) dan memiliki unconditionalcar-ing
sepanjang waktu tetapi keduanya harus lebih sering ditampilkan dalam hubungan
konseling dan merupakan bahan utama hubungan yang konstruktif (Corey, 1986, p.
108).
3)
Pemahaman
yang Empatik dan Akurat (Accurate Emphatic Undertanding)
Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli,
melihat melalui sudut pandang konseli, peka terhadap perasaan-perasaan konseli,
sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Dalam ini
konselor diharapkan dapat memahami permasalah konseli tidak hanya pada
permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli (Corey, 1986, p.
102).
Jika ketiga kondisi diatas dapat
dimunculkan oleh konselor sebagai kualiatas dalam hubungan terapeutik, dengan
demikian, dapat diperediksi aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling
adalah menjaga perasaan dan sikapnya secara lebih mendalam.
E. Pengalaman Klien dalam Terapis
Dalam model terapi client-centered, perubahan terapeutik bergantung pada persepsi
klien, baik tentang pengalamannya sendiri dalam terapi maupun tentang
sikap-sikap dasar konselor. Jika konselor menciptakan suatu iklim yang kondusif
bagi eksplorasi diri, maka klien memiliki peluang untuk mengalami dan
mengeksplorasi perasaan-perasaan yang banyak di antaranya diingkari pada
permulaan terapi.
Klien
datang kepada konselor dalam keadaan tidak selaras, yakni terdapat
ketidakcocokan antara persepsi diri dan pengalaman dalam kenyataan. Pada
mulanya, klien boleh jadi mengharapkan terapis akan menyediakan jawaban-jawaban
dan pengarahan, atau memandang terapis sebagai seorang ahli yang bisa menyediakan
pemecahan-pemecahan ajaib. Hal-hal yang mendorong klien untuk menjalani terapi
mungkin adalah perasaan tidak berdaya, tidak kuasa, dan tidak berkemampuan
untuk membuat putusan-putusan atau untuk mengarahkan hidupnya sendiri secara
efektif.
Pada
tahap-tehap permulaan terapi, tingkah laku dan perasaan-perasaan klien boleh
jadi ditandai oleh keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang sangat kaku,
hambatan-hambatan internal, kekuarangan keterpusatan, merasa terpisah dengan
perasaan-perasaan sendiri, ketidaksediaan untuk mengkomunikasikan taraf-taraf
diri yang lebih dalam, ketakutan terhadap keakraban, tidak mempercayai diri,
merasa terpecah, dan berkecenderungan mengeksternalisasi perasaan-perasaan dan
masalah-masalah. Dalam iklim terapeutik yang diciptaka oleh terapis, klien akan
bisa mengeksplorasi dalam lingkungan yang aman dan dipercaya aspek-aspek dunia
pribadinya yang tersembunyi. Kenyataan terapis sendiri, penerimaan tak
bersyarat terhadap klien, serta kemampuan menduga kerangka acuan internal klien
bisa mendorong klien untuk secara perlahan-lahan membuka tabir
pertahanan-pertahanannya dan sampai pada pemahaman terhadap apa yang ada di
baliknya.
Setelah terapi
berjalan baik, klien mampu mengeksplorasi lingkup yang lebih luas dari
perasaan-perasaannya. Kini klien mampu menyatakan ketakutan, kecemasan,
perasaan berdosa, perasaan malu, benci, marah, dan perasaan-perasaan lainnya
yang dianggap terlalu negative untuk diterima dan dimasukan ke dalam struktur
dirinya. Kini pengerutan dan distorsi klien berkurang serta ia bergerak kea rah
kesediaan yang lebih besar untuk menerima dan mengintegrasikan beberapa
perasaan yang bertentangan dan membingungkan mengenai dirinya. Lambat laun
klien menemukan aspek-aspek diri, yang negative maupun yang positif, yang
dibiarkannya tersembunyi. Klien bergerak menjadi lebih terbuka kepada degenap
pengalaman, kurang defensif, lebih banyak berhubungan dengan apa yang dirasakan
pada saat ini, kurang terpaku pada masa lampau, kurang dideterminasi, lebih
bebas untuk membuat putusan-putusan, serta mengalami peningkatan kepercayaan
kepada diri sendiri untuk secara efektif mengelola kehidupannya sendiri. Pendek
kata, pengalaman klien dalam terapis adalah melepasakan belenggu-belenggu deterministic
yang telah membuat dirinya berada dalam penjara psikologis. Dengan meningkatkan
kebebasan, klien cenderung menjadi lebih matang secara psikologis dan lebih
teraktualisasi.
F. Hubungan antara Terapis dan Klien
Rogers
merangkum hipotesis dasar terapi client-centered
dalam satu kalimat yaitu: “Jika saya bisa menyajikan suatu tipe hubungan, maka
orang lain akan menemukan dalam dirinya sendiri kesanggupan menggunakan
hubungan itu untuk pertemuan dan perubahan, sehingga perkembangan pribadi pun
akan terjadi” (Rogers, 1961, hlm.73)
Menurut
Carl Rogers (1967), kondisi yang diperlukan dan memadai bagi perubahan
kepribadian:
a.
Dua orang berada dalam hubungan
psikologis
b.
Orang pertama, yang akan kita sebut
klien, ada dalam keadaan tidak selaras, peka dan cemas
c.
Orang yang kedua, yang akan disebut terapis,
ada dalam keadaan selaras atau terintegrasi dalam berhubungan
d.
Terapis merasakan perhatian positif tak
bersyarat terhadap klien
e.
Terapis merasakan pengertian yang
empatik terhadap kerangka acuan internal klien dan berusaha mengomunikasikan
perasaannya ini kepada klien.
f.
Komunikasi pengertian empatik dan rasa
hormat yang positif tak bersyarat dari terapis kepada klien setidak-tidaknya
dapat dicapai.
Rogers mrngajukan hipotesis bahwa tidak ada
kondisi-kondisi lain yang diperlukan. Jika keenam kondisi tersebut ada selama
beberapa periode, maka perubahan kepribadian yang konstruktif pun akan terjadi.
Kondisi-kondisi itu tidak bervariasi menuju tipe klien. Selanjutnya, keenam
kondisi tersebut diperlukan dan memadai bagi semua pendekatan psikoterapi, tidak
hanya bagi terapi client-centered.
Terapis tidak perlu memiliki suatu pengertian khusus. Diagnosis psikologis yang
akurat tidak diperlukan dan lebih sering menghambat keefektifan psikoterapi. Rogers
mengakui bahwa teorinya menyolok dan radikal. Rumusnya telah menimbulkan banyak
kontroversi, sebab Rogers menegaskan bahwa banyak kondisi yang oleh para
terapis lain sama-sama dianggap perlu bagi keefektifan terapi adalah tidak
esensial.
Ada tiga ciri atau sikap pribadi terapis yang
membentuk bagian tengah hubungan terapeutik, dan karenannya juga dari proses
terapeutik, yaitu
1.
Keselarasan atau kesejatian
Keselarasan adalah ciri yang paling
penting. Keselarasan menyiratkan bahwa terapis tampil nyata, yang berarti
sejati, terintegrasi, dan otentik selama pertemuan terapi. Ia tampil tanpa
kepalsuan, pengalaman batin dan ekspresinya bersesuaian, dan bisa secara
terbuka mengungkapkan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang muncul dalam
hubungan dengan klien.
Terapis yang otentik bersikap spontan
dan terbuka dalam menyatakan perasaan-perasaan dan sikap-sikap yang ada pada
dirinya, baik yang negative maupun yang positif. Melalui pengungkapan (dan
penerimaan) perasaan-perasaan tertentu yang negative, terapis menunjang komunikasi
yang jujur dengan klien. Keselarasan memaksa terapis untuk sanggup menyatakan
kemarahanm kekecewaan, kesukaan, ketertarikan, keprihatinan, kejemuan,
kejengkelan, dan berbagai perasaan lainnya yang muncul dalam hubungan dengan
kliennya. Hal ini tidak berarti bahwa terapis boleh berbagi perasaan secara
impulsive, sebab pernyataan dia harus juga dilakukan secara layak. Juga tidak
menyiratkan bahwa klien menjadi penyebab kejemuan atau kemarahan terapis.
Bagaimanapun, terapis harus memikul tanggung jawab atas perasaan-perasaannya
sendiri dan bersama klien mengeksplorasi perasaan-perasaan yang kukuh yang
menghambat kemampuan terapis untuk bisa tampil secara utuh di hadapan klien.
2.
Perhatian positif tak bersyarat
Perhatian itu tak bersyarat, dalam arti
tidak dicampuri oleh evaluasi atau penilaian terhadap perasaan-perasaan,
pemikiran-pemikiran, dan tingkah laku klien sebagai baik atau buruk. Terapis
menilai dan menerima klien secara hangat tanpa menaruh persyaratan-persyaratan
pada penerimaannya itu. Perhatian terapis bersifat nonprosesif jika perhatian
itu berasal dari kebutuhan terapis untuk disukai dan dihargai, maka perubahan
dalam diri klien akan terhambat.Semakin besar derajat kesukaan, perhatian, dan
penerimaan hangat terhadap klien, maka semakin besar pula peluang untuk
menunjang perubahan klien.
3.
Pengertian Empatik Yang Akurat
Tujuan pengertian yang empatik adalah
mendorong klien agar lebih erat dengan dirinya sendiri, mengalami
perasaan-perasaannya sendiri dengan lebih dalam dan intens, serta mengenali dan
mengatasi ketidakselarasan yang ada pada klien. Konsep ini menyiratkan bahwa
terapis memahami perasan-perasaan klien seakan-akan perasaan-perasaan itu
adalah perasaan-perasaannya sendiri, tetapi tanpa tenggelam di dalamnya
Empati adalah lebih dari sekedar
refleksi perasaan. Empati memerlukan lebih daripada perefleksian isi kepada
klien, dan lebih daripada suatu teknik artificial yang rutin digunakan oleh
terapis. Empati adalah suatu identifikasi pribadi dengan klien. Terapis mampu
mengambil bagian dalam dunia subjektif klien dengan memasuki
perasaan-perasaannya sendiri yang bisa jadi mirip dengan perasaan-perasaan
klien. Sekalipun demikian, terapis tidak boleh kehilangan keterpisahannya. Rogers
percaya bahwa apabila terapis mampu menjangkau dunia pribadi klien sebagimana
dunia pribadi itu diamati dan dirasakan oleh klien, tanoa kehilarigan identitas
dirinya yang terpisah dari klien, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.
Sama halnya dengan dua sikap terdahulu,
pengertian empatik yang akurat berada pada suatu kontinum. Semakin besar
derajat empati terapis, maka akan semakin besar pula peluang yang dimiliki oleh
klien untuk mengalah maju dalam terapis.
G. Teknik-Teknik Konseling
Corey (1995) mengatakan bahwa
konselor harus memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang
dibutuhkan dalam proses konseling. Keterampilan-keterampilan tersebut antara
lain:
1.
Mendengar Aktif
(Active Listening)
Yaitu
memperlihatkan perkataan konseli, sensitive terhadap kata atau kalimat yang
diucapkan, intonasi dan bahasa tubuh konseli (p.63).
2.
Mengulang
Kembali (Restating/Paraphrasing)
Yaitu
mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda (p.63).
3.
Memperjelas
(Clarifying)
Adalah
merespon pernyataan atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas,
dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk
menemukan dan memperjelas perasaan-perasaannya yang bertolak belakang (p.63).
4.
Menyimpulkan
(Summarizing)
Merupakan
keterampilan konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang
muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling. Kemampuan ini sangat
dibutuhkan pada saat proses transisi dari satu topik ke topik lainnya (p. 64).
5.
Bertanya
(Questioning)
Teknik
ini bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. Dalam
bertanya terhadap dua jenis pertanyaan, yaitu: pertanyaan tertutup yang hanya
member peluang jawaban ya atau tidak dan pertanyaan terluka dengan mrnggunakan
kata Tanya seperti: apa (what), dimana (where), kapan (when), mengapa (why),
dan bagaimana (how) (p. 64).
6.
Menginterpretasi
(Interpreting)
Yaitu
kemampuan konselor dalam menginterpretasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku
konseli yang bertujuan untuk memberikan perspektif alternative dan baru.
Menginterpretasi membutuhkan keterampilan yang tinggi karena konselor harus
dapat menympaikan interpretasi bukan dogma. Selain itu, konselor juga harus
dapat menentukan waktu yang tepat untuk melakukan interpretasi dan memberikan
kesempatan bagi konseli untuk melakukan refleksi atas pernyataan interpretasi
konselo (p.65).
7.
Mengkonfrontasi
(Confronting)
Merupakan
cara yang kuat untuk manantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur.
Konfrontasi adalah cara yang efektif untuk membuka mata anggota kelompok, akan
tetapi bila dilakukan secara tidak berhati-hati akan memberikan efek yang buruk
dan merusak (p. 65).
8.
Merefleksikan
Perasaan (Reflecting Feelings)
Adalah
kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli. Mereflesikan
perasaan bukan sekedar memantulkan perasaan konseli tapi termasuk pula
ekspresinya (p. 65).
9.
Memberikan Dukungan (Supporting)
Adalah
upaya memberikan penguatan dan penguatan kepada konseli, terutama ketika mereka
berhasil membuka informasi-informasi personal. Konselor memberikan dukungan
dengan memberikan perhatian penuh kepada konseli tersebut dengan cara mendengar
aktif terhadap apa yang konseli katakan, mendekatkan diri secara psikologis,
dan merespon dengan penuh dukungan. Namun, teknik ini dapat menjadi counterproductive
karena konselor memberikan dukungan yang terlalu berlebihan (p. 65).
10.
Berempati (Empathizing)
Inti
dari keterampilan empati adalah kemampuan pemimpin kelompok untuk sensitive
terhadap hal-hal subyektif konseli. Untuk dapat melakukan empati, konselor
harus memiliki perhatian dan penghargaan kepada konseli (p. 66).
11.
Menfasilitasi (Facilitating)
Teknik
ini bertujuan memberdayakan konseli unyuk mencapai tujuan-tujuannya. Terdapat
beberapa cara yang spesifik yang dapat dilakukan konselor dalam memfasilitasi
kliennya, antara lain:
·
Memfokuskan
pada resistensi dalam diri konseli membantu konseli untuk menyadarinya.
·
Mengajarkan
konseli untuk memfokuskan pada dirinya dan perasaan-persaannya.
·
Mengajarkan
konseli untuk berbicara secara langsung an jujur.
·
Menciptakan
situasi yang aman yang memberikan keberanian bagi konseli untuk mengambil
resiko.
·
Memberikan
dukungan kepada konseli ketika mereka mencoba tingkah laku baru.
·
Membantu
konseli untuk memiliki sikap terbuka terhadap konseli
·
Membantu
konseli untuk mengatasi hambatan untuk berkomunikasi secara langsung.
·
Membantu
konseli untuk mengintegrasikan apa yang mereka pelajari dalam proses konseling
dan strategi untuk mengaplikasikannya kedalam kehidupan sehari-hari (p.66-67).
12.
Memulai
(Initiating)
Keterampilan
untuk memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentuksn
tujuan, mencari alternative solusi dan sebagainya (p. 67).
13.
Menentukan
Tujuan (Setting Goals)
Keterampilan
untyk menentukan tujuan konseling, disini konselor harus dapat menstimulasi
kliennya menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam
konseling (p. 67).
14.
Mengevaluasi
(Evaluating)
Keterampilan
untuk mengevaluasi keseluruhan proses konseling, karena evaluasi merupakan
kegiatan yang berkelanjutan. Setiap selesai sesi konseling, konselor harus
dapat mengevaluasi apa saja yang terjadi termasuk respon, pesan, dan perasaan
dirinya sendiri (p. 67).
15.
Memberikan
Umpan Balik (Giving Feedback)
Merupakan
keterampilan konselor untuk memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif,
dan jujur atas dasar observasi dan reaksi terhadap tingkah laku konseli (p.
67).
16.
Menjaga
(Protecting)
Yaitu
upaya konselor untuk menjaga kliennya dari kemungkinan resiko-resiko psikologis
dan fisik yang tidak perlu (p.68).
17.
Mendekatkan
Diri (Disclosing self)
Kemampuan
membuka informasi-informasi personal dengan tujuan membuat konseli menjadi
lebih terbuka (p. 68).
18.
Mencontoh
Model (Modeling)
Konseling
belajar dari mengobservasi tingkah laku konselor.untuk itu, konselor harus
dapat menampilkan nilai-nilai kejujuran, penghargaan, keterbukaan, mau
mengambil risiko, dan asertif.
19.
Mengakhiri
(Terminating)
Yaitu
keterampilan konselor untuk menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan
konseling. Keterampilan ini dibutuhkan untuk menutup sesi konseling dan
mengakhirin konseling dengan sukses (p. 70).
H. Kontribusi pendekatan konseling Client-Centered
Barangkali pendekatan Client-Centered merupakan corak dominan yang
digunakan dalam pendidikan konselor. Salah satu alasannya adalah, terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan.
Terapi Client-Centered menitik
beratkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhitungkan
kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang
merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran. Para
terapis Client-Centered secara khas
merefleksikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para
klien untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan mendorong klien untuk
menemukan cara-cara pemecahannya sendiri. Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi
lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat
penafsiran-penafsira, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis
mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal. Bagi orang
yang kurang memiliki latar belakang dalam psikologi konseling, dinamika-dinamika
kepribadian, dan psikopatologi, pendekatan Client-Centered
memberi jaminan yang lebih realistis bahwa para calon klien tidak akan
mengalami kerugian psikologis.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan
kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok. Ia memberikan
landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subjektif klien, memberikan
peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh disengar dan mendengar.
Jika para klien merasa didengar, maka mereka sangat mungkin mengungkapkan
perasaan-perasaan dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa menjadi diri sendiri,
sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan dievaluasi dan dihakimi. Mereka akan
merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru. Mereka dapat diharapkan
memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang
langkah dalam konseling. Mereka pula yang menetapkan bidang-bidang apa yang
mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
Pendekatan Client-Centered menyajikan
kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru
dikomunikasikannya. Terapis bertindak sebagai cermin, merefleksikan
perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam. Jadi, klien memiliki kemungkinan
untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan maknanya yang lebih dalam bagi
aspek-aspek dari struktur dririnya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian
oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyaj hal yang sebelumnya tidak
diperhatikannya. Oleh karena itu, klien bisa meningkatkan sendiri keseluruhan
tindakan yang dialaminya.
Sumbangan utama lainnya pada lapangan
psikoterapi berasal dari fakta bahwa Rogers bersedia mendudukan
rumusan-rumusannya sebagai hipotesis-hipotesis yang dapat diuji dan
mempersembahkan hipotesis-hipotesisnya itu kepada upaya-upaya penelitian.
Kritik-kritik Rogers menghasilkan kepercayaan untuk menuntun dan mengilhami
orang lain untuk melaksanakan penelitian yang luas tentang proses konseling dan
hasil dari aliran psikoterapi tertentu. Teori Rogers tentang terapi dan
perubahan kepribadian memiliki efek heuristik yang luar biasa dan meskipun
banyak kontrofersi yang muncul di
sekitar pendekatan client-centered, karya Rogers telah menantang para praktisi
dan teoritis untuk menguji gaya terapeutik dan keyakinan-keyakinan mereka
sendiri.
Teori client-centered tidak terbatas
pada psikoterapi. Rogers menunjukkan teorinya memiliki implikasi-implikasi bagi
pendidikan, bisnis,industri, dan hubungan internasional. Rogers mempersembahkan
usahanya yang luas pada gerakan konseling kelompok, dan ia menjadi salah
seorang bapak dari ‘’Kelompok konseling dasar’’(Rogers, 1970). Ia telah lama
menaruh minat pada pengajaran yang terpusat pada siswa (Rogers, 1969).
Usaha-usaha Rogers memberikan andil pada pembentukan himpunan psikologi
Humanistik. Jelas bahwa pendekatan client-centered memiliki implikasi-implikasi
bagi psikoterapi, pelatihan para petugas kesehatan mental, kehidupan keluarga,
dan bagi segenap hubungan interpersonal (Rogers, 1961).
I. Keterbatasan
Dan Kritik Terhadap Konseling Client-Centered
Kelemahan pendekatan client-centered
terletak pada cara pratisi menyalah tafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap
sentral dari posisi client-centered. Tidak semua konselor bisa mempraktekkan
terapi client-centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat
yang melandasinya. Banyak pengikut Rogers yang berusaha menjadi tiruan dari Rogers
sendiri dan salah mengartikan sejumlah konsep dasar Rogers. Mereka membatasi
lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan
mendengar secara empatik. Tentu saja, mendengarkan klien secara
sungguh-sungguh, merefleksikan dan mengomunikasikan pengertian kepada klien,
memiliki nilai. Akan tetapi, psikoterapi lebuh dari itu. Barang kali memang
mendengar dan merefleksikan merupakan prasyarat bagi pembentukan hubungan
terapeutik. Akan tetapi, mendengar dan merefleksikan jangan di kacaukan dengan
terapi itu sendiri.
Satu kekurangan dari pendekatan
client-centered adalah adanya jalan yang menyebabkan sejumlah praktisi menjadi
terlalu terpusat kepada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai
pribadi yang unik. Secara paradoks, terapis dibenarkan berfokus pada klien
sampai batas tertentu sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai
pribadi dan kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggaris bawahi
kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien dan pada saat yang sama ia bebas
membawa kepribadian nya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa
terapi client-centered tidak lebih dari pada
teknik mendengar dan merefleksikan. Terapi client-centered berlandaskan
sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan dengan kliennya dan
lebih dari kualitas lain yang manapun, kesejatian terapis menentukan kekuatan
hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gaya nya yang
unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan
merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu
mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan
terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka
client-centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan
reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata
adalah: terapi client-centered akan dikecilkan menjadi corak kerja yang ramah
dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.
|
Princess :)
Tagboard :)
Put your Cbox here :) Round of applause :)
Background : SRH Header : Jiba Edit by : You :) |