Teori Dan Teknik Konseling:Teori Eksistensial-Humanistik
Sabtu, 28 September 2013 @ 23.35 | 0 Comment [s]
A.Pandangan Eksistensial-Humanistik terhadap hakikat manusia.
Psikologi
eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama
adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia alih-alih suatu
system teknik-teknik yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Oleh karena itu,
pendekatan eksistensial-humanistik bukan aliran terapi, bukan pula suatu teori
tunggal yang sistematik.
Pendekatan
terapi eksistensial juga bukan suatu pendekatan terapi tunggal, melainkan suatu
pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang semuanya berlandasan.
·
Kesadaran diri
Manusia
memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang
unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin
kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan
yang ada pada orang itu. Kesanggupan untuk memilih alternatif-alternatif yakni
memutuskan secara bebas di dalam kerangka pembatasnya adalah suatu aspek yang
esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung
jawab. Para eksistensialis menekankan bahwa manusia bertanggung jawab atas
keberadaan dan nasibnya. Manusia bukanlah bidak dari kekuatan-kekuatan yang
deterministik dari pengondisian.
·
Kebebasan,
tanggung jawab, dan kecemasan
Kesadaran atas
kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut
dasar pada manusia. Kecemasan eksistensial juga bisa diakibatkan oleh kesadaran
atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing).
Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi kehidupan individu sekarang,
sebab kesadaran tersebut menghadapkan individu pada kenyataan bahwa dia
memiliki waktu yang terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa
eksistensial, yang juga merupakan bagian dari kondisi manusia, adalah akibat
dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi sesuatu sesuai dengan
kemampuannya.
·
Penciptaan
makna
Manusia itu
unik, dalam arti bahwa dia itu berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan
menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi
manusia juga berarti menghadapi kesendirian: manusia lahir ke dunia sendirian
dan mati sendirian pula. Sungguh pun pada hakikatnya sendirian, manusia
memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna,
sebab manusia adalah makhluk rasional. Kegagaln dalam menciptakan hubungan yang
bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi,
keterasingan, dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri,
yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai taraf tertentu, jika
tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menjadi “sakit”. Patologi dipandang
sebagai kegagalan menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi
seseorang.
B.Tujuan-Tujuan Terapeutik
Terapi
eksistensial bertujauan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik
dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia
dapat membuka diri dan berindak berdasarkan kemampuannya. Bugental (1965)
menyebutkan keotentikan sebagai “urusan utama psikoterapi” dan “nilai
eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dan keberadaan otentik: (1)
menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada
saat sekarang, dan (3) memikul tanggung jawab untuk memilih. Klien yang
neurotik adalah orang yang kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah
membantunya agar ia memperoleh atau menemukan kembali kemanusiannya yang
hilang.
Pada dasarnya,
tujuan terapi eksistensial adalah meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya
meningkatkan kesanggupan pilihannya, yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab
atas arah hidupnya. Penerimaan tanggung jawab itu bukan suatu hal yang mudah; banyak orang yang
takut akan beratnya bertanggung jawab atas menjadi apa dia sekarang dan akan
menajdi apa dia selanjutnya. Mereka harus memilih, misalnya, akan tetap
berpegang pada kehidupan yang dikenalnya atau akan membuka diri kepada
kehidupan yang kurang pasti dan lebih menantang. Justru tiadanya
jaminan-jaminan dalam kehidupan itulah yang menimbulkan kecemasan. Oleh karena
itu, terapi eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu menghadapi
kecemasan sehubungan dengan tindakan memilih diri, dan menerima kenyataan bahwa
dirinya lebih dari sekadar korban kekuatan-kekuatan deterministic di luar
dirinya.
C.Fungsi dan
Peran Terapis
Tugas utama terapis adalah berusaha
memahami klien sebagai ada dalam-dunia. Teknik yang digunakan mengikuti
alih-alih mendahului pemahaman. Karena menekankan pada pengalaman klien
sekarang, para terapis eksistensial menunjukkan keleluasaan dalam menggunakan
metode-metode, dan prosedur yang digunakan oleh mereka bisa bervariasi tidak
hanya dari klien yang satu kepada klien yang lainnya, tetapi juga dari satu ke
lain fase terapi yang dijalani oleh klien yang sama.
Meskipun terapi eksistensial bukan
merupakan metode tunggal,di kalangan terapis eksistensial dan humanistik da
kesepakatan menyangkut tugas-tugas dan tanggung jawab terpis. Buhler dan Allen
(1972) sepakat bahwa psikoterapi difokuskan pada pendekatan terhadap hubungan
manusia alih-alih sistem teknik. Menurut Buhler dan Allen, para ahli psikologi
humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
1)
Mengakui
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2)
Menyadari peran
dari tanggung jawab terapis.
3)
Mengakui sifat
timbal balik dari hubungan terapeutik.
4)
Berorientasi
pada pertumbuhan .
5)
Menekankan
keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang menyeluruh.
6)
Mengakui bahwa
putusan-putusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di tangan klien.
7)
Memandang
terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan
humanistiknya tentang manusia bisa secara implicit menunjukkan kepada klien
potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
8)
Mengakui
kebebasan klien untuk menungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan
tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
9)
Bekerja ke arah
mengurangi kebergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
May (1961, hlm 81) memandang tugas terapis
diantaranya adalah membantu klien agar menyadari keberadaannya dalam dunia:
“Ini adalah saat ketika pasien melihat dirinya sebagai orang yang terancam,
yang hadir didunia yang mengancam dan sebagai subjek yang memiliki dunia”.
Frankl (1959, hlm 174) menjabarkan peran
terapis sebagai “spesialis mata daripada sebagai pelukis”, yang bertugas
“memperluas dan memperlebar lapangan visual pasien sehingga spektrum keseluruhan
dari makna dan nilai-nilai menjadi disadari dan dapat diamati oleh pasien”.
Untuk contoh
mengenai bagaimana seorang terapis yang berorientasi eksistensial bekerja dalam
pertemuan terapi, bisa ditunjuk surat klien yang telah diungkapkan di muka.
Jika klien mengungkapkan perasaan-perasaannya kepada terapis pada pertemuan
terapi, maka terapis akan bertindak sebagai berikut:
v Memberikan reaksi-reaksi pribadi dalam kaitan dengan apa yang
dikatakan oleh klien.
v Terlibat dalam sejumlah pernyataan pribadi yang relevan dan pantas
tentang pengalaman-pengalaman yang mirip dengan yang dialami oleh klien.
v Meminta kepada klien untuk mengungkapkan ketakutannya terhadap
keharusan memilih dalam dunia yang tak pasti.
v Menantang klien untuk melihat seluruh cara dia menghindari
pembuatan putusan-putusan dan memberikan penilaian terhadap penghindaran itu.
v Mendorong klien untuk memeriksa jalan hidupnya pada periode sejak memulai terapi dengan bertanya: “Jika Anda bisa
secara ajaib kembali kepada cara Anda ingat kepada diri Anda sendiri sebelum
terapi, maukah Anda melakukannya sekarang? ”
v Beri tahukan kepada klien bahwa ia sedang
mempelajari apa yang dialaminya sesungguhnya adalah suatu sifat yang khas
sebagai manusia: bahwa dia pada akhirnya sendirian, bahwa dia harus memutuskan
untuk dirinya sendiri, bahwa dia akan mengalami kecemasan atas ketidakpastian
putusan-putusan yang dibuat, dan bahwa dia akan berjuang untuk menetapkan makna
kehidupannya di dunia yang sering tampak tak bermakna.
D. Pengalaman klien dalam terapi
Dalam terapi
eksistensial, klien mampu mengalami secara subjektif persepsi-persepsi tentang
dunianya. Dia harus aktif dalam proses terapeutik, sebab dia harus
memutuskanketakutan-ketakutan, perasaan-perasaan berdosa, dan kecemasan-kecemasan
apa yang akan dieksplorasinya. Memutuskan untuk menjalani terapi saja sering
merupakan tindakan yang menakutkan. Klien dalam terapi eksistensial terlibat
dalam pembukaan pintu menuju diri sendiri. Pengalaman sering menakutkan, atau
menyenangkan, mendepresikan, atau gabungan dari semua perasaan tersebut. Dengan
membuka pintu yang tertutup, klien mulai melonggarkan belenggu deterministic
yang telah menyebabkan dia terpenjara secara psikologis. Lambat laun klien
menjadi sadar, apa dia tadinya dan siapa dia sekarang, serta klien lebih mampu
menetapkan masa depan macam apa yang diinginkannya. Melalui proses terapi,
klien bisa mengeksplorasi alternative-alternatif guna membuat
pandangan-pandangannya menjadi riel.
E. Hubungan antara terapis dan klien
Hubungan terapeutik
sangat penting bagi terapi eksistensial. Penekanan diletakkan pada pertemuan
antarmanusia dan perjalanan bersama alih-alih pada teknik-teknik yang
mempengaruhi klien. Isi pertemuan terapi adalah pengalaman klien sekarang,
bukan “masalah” klien. Hubungan dengan orang lain dalam kehadiran yang otentik
difokuskan kepada “di sini dan sekarang”. Masa lampau atau masa depan hanya
penting bila waktunya berhubungan langsung
Dalam menulis tentang
hubungan terapeutik, Sidney Jourard
(1971) mengimbau agar terapis, melalui tingkah kalunya yang otentik dan
terbuka, mengajak klien kepada keotentikan. Jourard
memninta agar terapis membangun hubungan Aku-Kamu, di mana pembukaan diri
terapis yang spontan menunjang pertumbuhan dan keotentikan klien. Sebagaimana
dinyatakan oleh Jourard (1971, hlm.
142-150), “Manipulasi melahirkan kontramanipulasi. Pembukaan diri melahirkan
pembukaan diri pula”. Ia juga menekankan bahwa hubungan terapeutik bisa
mengubah terapis sebagaimana ia mengubah klien. “Hal itu berarti bahwa siapa
yang menginginkan ada dan pertumbuhannya tidak berubah, tidak perlu menjadi
terapis”.
Jourard adalah satu contoh yang baik tentang seorang
terapis yang mengembangkan gaya diri yang berorientasi humanistic. Ia
menunjukkan bahwa menjadi unik, otentik, dan menggunakan teknik-teknik yang
beragam dalam kerangka humanistic adalah suatu hal yang mungkin. Terapis
mengundang klien untuk tumbuh dengan tingkah laku yang otentik. Terapis mampu
menjadi jernih ketika kejernihan itu diperlukan dalam hubungan terapeutik, dan
dengan kemanusiawiannya dia menstimulasi klien untuk mengetuk potensinya ke
arah yang nyata (realness). Jourard
(1971, hlm. 146) menguraikan evolusinya sendiri sebagai seorang terapis dalam
bukunya yang berjudul “The Transparent
Self”.
“Tingkah laku
saya sebagai seorang terapis telah berubah secara perlahan tetapi radikal
selama beberapa tahun. Saya menjadi pendengar terbaik di antara yang pernah
saya alami, bahkan barangkali lebih baik. Kesanggupan saya untuk memberikan
empati dan penilaian saya yang menyeluruh sekarang lebih besar dibanding dengan
yang saya miliki sebelumnya. Saya merefleksikan perasaan-perasaan dan isi
sebagaimana yang akan saya lakukan, tetapi itu dilakukan hanya apabila saya
ingin agar klien mengetahui apa yang saya dengar daripadanya. Akan tetapi,
kadang-kadang tahu-tahu saya memberikan saran, mengajari tertawa, menjadi
marah, menafsirkan, menceritakan khayalan-khayalan sendiri, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan… Pendek kata, melakukan apa saja yang timbul dari diri
saya sepanjang pertemuan terapi sebagai tanggapan terhadap orang lain.
Perubahan ini bisa berarti bahwa saya tumbuh sebagai pribadi dan sebagai
terapis atau berarti bahwa, melalui kekurangan pengawasan yang ketat, saya
tenggelam di dalam “disiplin”, Sekalipun demikian, saya tetap mendiskusikan
pekerjaan saya dengan rekan-rekan, dan saya tidak terisolasi.”
Jourard tetap berpandangan bahwa jika terapis
menyembunyikan diri dalam pertemuan terapis, maka dia terlibat dalam tingkah
laku tidak otentik yang sama dengan yang menimbulkan gejala-gejala pda diri
klien. Menurut Jourard, cara untuk
membantu klien agar menemukan dirinya yang sejati serta agar tidak menjadi
asing dengan dirinya sendiri adalah, terapis secara spontan membukakan
pengalaman otentiknya kepada klien pada saat yang tepat dalam pertemuan terapi.
Hal ini bukan berarti bahwa terapis harus menghentikan penggunaan
teknik-teknik, diagnosis-diagnosis, dan penilaian-penilaiannya, melainkan
terapis harus sering menyatakan atau menyampaikan kepada klien bahwa dia ridak
ingin mengungkapkan apa yang dipikirkan atau dirasakannya.
F. Penerapan: Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur
Terapeutik
Prosedur-prosedur
terapeutik bisa diambil dari beberapa pendekatan terapi lainnya. Metode-metode
yang berasal dari terapi Gestalt dan Analisis Transaksional sering digunakan,
dan sejumlah prinsip dan prosedur psikoanalisis bisa diintegrasikan ke dalam
pendekatan eksistensial-humanistik. Buku The
Search for Authenticity (1965) dari Bugental adalah sebuah karya lengkap
yang mengemukakan konsep-konsep dan prosedur-prosedur psikoterapi eksistensial
yang berlandaskan model psikoanalitik. Bugental menunjukan bahwa konsep inti
psikoanalisis tentang resistensi dan transferensi bisa diterapkan pada filsafat
dan praktek terapi eksistensial. Ia menggunakan kerangaka psikoanalitik untuk
menerangkan fase kerja terapi yang berlandaskan konsep-konsep eksistensial
seperti kesadaran, emansipasi dan kebebasan, kecemasan eksistensial, dan
neurosis eksistensial.
Pada pembahasan dibawah
ini diungkapkan dalil-dalil yang mendasari praktek terapi eksistensial
humanistic.
Tema-Tema dan
Dalil-dalil Utama Eksistensial: Penerapan-penerapan pada Praktek Terapi
Dalil 1: Kesadaran Diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari diri
yang menjadikan dirinya mampu melampaui situasi sekarang dan membentuk basis
bagi aktivitas-aktivitas berpikir dan memilih yang khas manusia.
Kesadaran diri itu membedakan manusia dari
makhluk-makhluk lain. Pada hakikatnya, semakin tinggi kesadaran diri seseorang,
maka ia semakin hidup sebagai pribadi atau, sebagaimana dinyatakan oleh
Kierkegaard, “Semakin tinggi kesadaran, maka semakin utuh diri seseorang.”
Tanggung jawab berlandaskan kesanggupan untuk sadar. Dengan kesadaran,
seseorang bisa menjadi sadar atas tanggung jawabnya untuk memilih, sebagaimana
dinyataka May (1953), “Manusia adalah
makhluk yang bisa menyadari dan oleh karenanya, bertanggung jawab atas
keberadaannya.”
Pada inti keberadaan manusia, kesadaran membukakan
kepada kita bahwa:
·
Kita adalah
makhluk yang terbatas, dan kita tidak selamanya mampu mengaktualkan
potensi-potensi.
·
Kita memiliki
potensi mengambil atau tidak mengambil tindakan.
·
Kita memiliki
suatu ukuran pilihan tentang tindakan-tindakan yang akan diambil, karena itu
kita menciptakan sebagian dari nasib kita sendiri.
·
Kita pada
dasarnya sendirian, tetapi memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan orang
lain; kita menyadari bahwa kita terpisah, tetapi juga terkait dengan orang
lain.
·
Makna adalah
sesuatu yang tidak diperoleh bagitu daja, tetapi merupakan hasil dari pencarian
kita dan dari penciptaan tujuan kita yang unik.
·
Kecemasan
eksistensial adalah bagian hidup yang esensial sebab dengan meningkatnya kesadaran
kita atas keharusan memilih, maka kita mengalami peningkatan tanggung jawab
atas konsekuensi-konsekuensi tindakan memilih.
·
Kecemasan timbul
dari penerimaan ketidakpastian masa depan.
·
Kita bisa
mengalami kondisi-kondisi kesepian, ketidakbermaknaan, kekosongan, rasa
berdosa, dan isolasi, sebab kecemasan adalah kesanggupan yang mendorong kita
untuk mengenal kondisi-kondisi tersebut.
Berikut
ini adalah daftar dari beberapa pemunculan kesadaran yang dialami orang, baik
dalam konseling individual maupun dalam konseling kelompok:
a.
Mereka menjadi sabar bahwa dalam usaha
yang nekat untuk mencinta mereka sebenarnnya, kehilangan pengalaman dicintai.
b.
Mereka melihat bagaimana mereka
menukarkan keamanan yang diperoleh dari kebergantungan dengan
kecemasan-kecemasan yang menyertai pengambilan keputusan untuk diri sendiri.
c.
Mereka mengakui, bagaimana mereka
berusaha mengingkari berbagai ketidak konsistenan diri mereka sendiri, dan
bagaimana mereka menolak apa-apa yang
ada di dalam diri sendiri, yang mereka anggap tidak bisa diterima.
d.
Mereka mulai melihat identitas diri
mereka tertambat pada penentuan orang lain, yakni mereka lebih suka mencari
persetujuan dan pengukuhan dari orang lain, dari pada mencari pengukuhan dari
diri sendiri.
e.
Mereka belajar bahwa diri mereka dengar
berbagai cara dibiarkan menjadi tawanan pengalaman keputusan masa lampau.
f.
Mereka menemukan sejumlah besar faset
pada diri mereka sendiri, dan menjadi sadar bahwa diri dengan merepresi satu
sisi dari keberadaan mereka, mereka merepresi sisi keberadaan yang lainnya.
Misalnya, jika mereka merepresi tragedi, berarti mereka menutupi diri dari
kesenangan; jika mereka mengingkari kebencian, berarti mereka mengingkari
kesanggupan untuk mencintai; jika mereka mengusir sifat-sifat buruk, berarti
mereka mengusir sifat-sift baiknya sendiri.
g.
Mereka bisa belajar bahwa mereka bisa mengabaikan masa depan maupun masa
lampau, mereka bisa membentuk masa depan
h.
Mereka dapat menyadari bahwa mereka di
risaukan oleh ajal dan kematIan sehingga mereka tidak mampu menghargai
kehidupan.
i.
Mereka mampu menerima
keterbatasan-keterbatasan, tetapi tetap merasa pantas, sebab mereka mengerti
bahwa mereka tidak perlu menjadi sempurna untuk merasa pantas.
j.
Mereka bisa mengakui bahwa mereka gagal
untuk hidup pada saat sekarang mereka dikuasai oleh masa lampau maupun oleh
rencana-rencana masa depan, atau karena mencoba mengerjakan terlalu banyak hal
sekaligus.
Dalam pengertian yang sesungguhnya,
peningkatan kesadaran diri yang
mencangkup kesadaran atas alternatif-altrnatif, motivasi-motivasi faktor-faktor
yang membentuk pribadi, dan atas tujuan-tujuan pribadi, dan atas tujuan-tujuan
pribadi adalah tujuan-tujuan segenap konseling. Bagaimanapun konseling tidak
percaya bahwa tugas terapis adalah mencari orang-orang yang tidak sadar dan
mengatakan kepada mereka bahwa mereka perlu meningkatkan kesadaran diri.
Tugas terapis ialah untuk menunjukan
kepada klien bahwa harus ada pengorbanan untuk peningkatan kesadaran diri.
Dengan menjadi lebih sadar, klien akan lebih sulit untuk ‘’kembali kerumah lagi”.
Kekurangtahuan atas kondisi diri bisa jadi memberikan kepuasan bersama perasaan
mati sebagian. Akan tetapi, dengan membuka pintu ke dunia diri, maka orang itu
dapat diharapkan akan berjual lebih ulet serta memiliki kemampuan untuk
mendapat lebih banyak pemenuhan.
Dalil
2: kebebasan dan tanggung jawab
Manusia
adalah makhluk yang menentukan diri, dalam arti bahwa dia memiliki kebebasan
untuk memilih di antara alternatif-alternatif. Karena manusia dasarnya bebas,
Maka dia harus bertanggung jawab atas pengarahan hidup dan penentuan nasibnya
sendiri.
Pendekatan
eksistensial meletakan kebebasan, determinasi diri, keinginan, dan putusan pada
pusat keberadaan manusia. Jika kesadaraan dan kebebasan dihapus dari manusia,
maka dia tidak lagi hadir sebagai manusia, sebab kesanggupan-kesanggupan itulah
yang memberinya kemanusiaan. Pandangan eksistensial adalah bahwa individu,
dengan putusan-putusannya, membentuk nasib dan mengukir keberadaannya sendiri,.
Seseorang menjadi apa yang di putuskan, dan dia harus bertanggung jawab atas
jalan hidup yang ditempuhnya. Rilich mengingatkan,”Manusia benar-benar menjadi
manusia hanya saat mengambil keputusan. Sartre mengatakan”Kita adalah pilihan
kita”. Nietzsche menjabarkan kebebasan sebagai “Kesanggupan untuk
menjadi apa yang kita alam”. Ungkapan Kierkegaard, “memilih diri sendiri”,
menyiratkan bahwa seseorang bertanggung jawab atas kehidupan dan keberadaannya.
Sedangkan Jaspers menyebutkan bahwa “kita
adalah makhluk yang memutuskan”.
Kebebasan
adalah kesanggupan untuk meletakan perkembangan ditangan sendiri dan untuk
memilih di antara-antara alternatif-alternatif. Tentu saja kebebasan memiliki
batas-batas dan pilihan-pilihan dibatasi oleh faktor-faktor luar. Akan tetapi,
kita memang memiliki unsur memilih. Akan tetapi, kita memiliki unsur memilih.
Kita tidak segedar dipantulkan kesana kemari sepert bola-bola biliar. Seperti
dinyatakan oleh Flankl ( 1959, hlm. 122 ), “Hidup terutama berarti memikul
tanggung jawab untuk menemukan jawaban yang
tepat bagi masalah-masalahnya dan untuk menunaikan tugas-tugas yang
terus-menerus diberikannya kepada masing-masing individu”. Hal yang tidak
pernah bisa direbut dari manusia adalah kebebasan. Kita setidaknya dapat
memilih sikap dalam perangkap keadaan yang bagaimanapun. Kita adalah makhluk
yang menentukan diri sendiri untuk menjadi apa yang kita pilih.
Tugas
terapis adalah membantu klien dalam menemukan cara-cara klien sama sekali
menghindari penerima kebebasannya, dan mendorong klien ini unruk belajar
menanggung resiko atas keyakinannya terhadap resiko atas keyakinan terhadap
akibat penggunaan kebebasannya. Yang jangan dilakukan adalah melumpuhkan klien
dan membuatnya bergantung secara neurotik pada trapis. Trapis perlu mengajari
klien bahwa dia bisa buat pilihan meskipun klien boleh jadi telah menghabiskan
sebagian besar hidupnya untuk melarikan diri dari kebebasan memilih.
Dalil
3: Keterpusatan dan kebutuhan akan orang lain
Setiap
individu memiliki kebutuhan untuk memelihara keunikan dan keterpusatannya,
tetapi pada saat yang sama ia akan memiliki keputusan untuk keluar dari dirinya
sendiri dan untuk berhubungan dengan orang lain serta dengan alam. Kegagalan dalam
berhubungan dengan orang lain dan dengan alam menyebabkan ia kesepian,
mengalami alienasi, keterasingan, dan depersonalisasi.
Kita
masing-masing memiliki kebutuhan yang kuat untuk menemukan suatu diri, yakni
menemukan identitas pribadi kita. Akan tetapi, penemuan siapa kita sesungguhnya
bukanlah suatu proses yang otomatis; ia membutuhkan keberanian. Secara
paradoksal kita juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk keluar dari keberadaan
kita. Kita membutuhkan hubungan dengan keberadaan-keberadaan yang lain. Kita
harus memberikan diri kita kepada orang lain dan terlibat dengan mereka.
·
Keberanian untuk ada
Kita bejuang untuk menemukan, untuk
menciptakan dan untuk memelihara inti dari ada kita. Salah satu ketakutan
terbesar dari para klien adalah bahwa mereka akan tidak menemukan inti, diri,
dan subtansi, dan menemukan kenyataan bahwa mereka haanyalah refleksi-refleksi
harapan orang lain atas diri mereka. Seorang klien mengatakan,”ketakutan saya
adalah menemukan bahwa saya bukan siapa-siapa, bahwa benar-benar tidak ada
suatu apapun bagi saya, dan bahwa saya tidak memiliki diri. Saya akan menemukan
bahwa saya adalah kerang yang kosong, hampa, dan tidak ada lagi yang eksis jika
saya menanggalkan topeng saya.”
Para terapis eksistensial bisa memulai dengan
meminta kepada para kliennya untuk mengakui perasaannya sendiri bahwa mereka
tidak lebih dari sejumlah pengharapan orang lain, dan bahwa mereka hanyalah
introyek-introyek dari orang tua dan orang tua pengganti. Tempat mulai bekerja
bagi terapis adalah mengajak klien untuk menerima cara-cara dia hidup diluar
dirinya sendiri dan mengeksporasi cara-cara untuk keluar dari pusatnya sendiri.
Kesulitan yang dialami oleh banyak orang diantara
kita adalah pencarian arah, jawaban-jawaban, nilai-nilai dan
keyakinan-keyakinan dari orang lain yang dianggap penting di lingkungan kita.
Kita lebih suka menjual diri dengan menjadi apa yang diharapkan oleh orang lain
daripada menaruh kepercayaan pada diri sendiri untuk menemukan jawaban-jawaban
bagi konflik-konflik dalam kehidupan kita. Ada kita menjadi berakar pada ada
orang lain, dan kita menjadi orang asing bagi diri kita sendiri.
Kebutuhan
akan diri berkaitan dengan kebutuhan untuk menjadi hubungan yang bermakna
dengan orang lain. Jika kita hidup dalam isolasi dan tidak memiliki hubungan
yang nyata dengan orang lain, maka kita mengalami perasaan terabaikan,
terasingkan, dan terkucilkan. Salah satu fungsi terapi adalah membantu klien
untuk membedakan kebergantungan yang neurotik kepada orang lain dan hubungan
terapeutik dimana hubungan kedua belah pihak ditingkatkan. Terapis bisa
memberikan tantangan kepada para klien untuk memeriksa apa yang diperoleh dari
hubungan mereka, bagaimana mereka menghindari hubungan yang akrab, bagaimana
mereka mencegah hubungan yang setara, dan cara-cara yang memungkinkan mereka
menciptakan hubungan manusiawi yang terapeutik, sehat dan matang.
·
Pengalaman kesendirian
Para eksistensial berdalil bahwa bagian
dari kondisi manusia adalah pengalaman kesendirian. Bagaimana, kita bisa
memperoleh kekuatan dari pengalaman melihat diri sendiri dan dari merasakan
kesendirian dari keterpisahan. Rasa terisolasi muncul ketika kita menyadari
bahwa kita tidak bisa bergantung pada orang lain dalam mengukuhkan diri, yakni
kita sendiri lah yang harus memberikan makna kepada hidup kita, kita sendiri
yang harus menemukan jawaban-jawaban, dan kita sendiri yang harus memutuskan
apakah kita harus menjadi sesuatu atau tidak menjadi sesuatu. Jika kita sanggup
menoleransi diri kita mengalami kesendirian, bagaimana mungkin kita
mengharapkan orang lain bisa diperkaya oleh kehadiran kita sebelum kita bisa
memiliki jalinan hubungan yang kuat dengan orang lain. Kita terlebih dahulu harus
memiliki jalinan hubungan dengan diri kita sendiri. Kita harus belajar
mendengarkan diri kita sendiri. Kita terlebih dahulu harus mampu berdiri tegak
sendirian sebelum berdiri disamping orang lain.
Terdapat suatu paradox dalam dalil yang
menyebutkan bahwa manusia secara eksistensial sendirian, tetapi juga
berhubungan. Paradoks ini menguraikan kondisi manusia. Keliru apabila kita
berpikir bahwa kita bisa dan perlu memperbaiki kondisi itu. Pada akhirnya kita
sendiri. Kita mengalami kesendirian eksistensial ketika kita mengakui dan
menerima bahwa kita memikul tanggung jawab atas pilihan-pilihan kita berikut
hasil-hasilnya, bahwa kominikasi total dari individu yang satu dengan yang
lainnya tidak pernah bisa dicapai, bahwa kita adalah individu-individu yang
terpisah dari orang lain, bahwa kita adalah unik.
·
Pengalaman Keberhubungan
Kita adalah makhluk yang relasional, dalam arti
bahwa kita bergantung pada hubungan dengan orang lain untuk kemanusiaan kita.
Memiliki kebutuhan unyuk menjadi orang yang berarti dalam dunia orang lain, dan
kita butuh akan perasaan bahwa kehadiran orang lain penting dalam dunia kita.
Apabila kita memperbolehkan orang lain memiliki arti dalam dunia kita, maka
kita mengalami keterhubungan yang bermakna. Apabila kita mampu tegak sendiri
dan menyelam ke dalam diri sendiri untuk memperoleh kekuatan, maka hubungan
kita dengan orang lain berlandaskan pemenuhan, bukan deprivasi. Bagaimanapun,
jika kita secara pribadi merasa mengalami deprivasi, maka hanya sedikit yang
diharapkan dari hubungan kita dengan orang lain kecuali hubungan bergantung,
parasitik, dan simbiotik.
Dalil
4: Pencarian Makna
Salah
satu karakteristik yang khas pada manusia adalah perjuangannya untuk mersakan
arti dan maksud hidup. Manusia pada dasarnya selalu dalam pencarian makna dan
identitas pribadi.
Terapi
eksistensial bisa menyediakan kerangka konseptual untuk membantu klien dalam
usahanya mencari makna hidup. Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan oleh
terapis kepada kliennya adalah: apakah anda menyukai arah hidup anda? Apakah
anda puas atas apa anda sekarang dan akanmenjadi apa anda? Apakah anda aktif
melakukan sesuatu yang akan mendekatkan anda pada ideal-diri anda? Apakah anda
mengerahui apa yang anda inginkan? Jika anda bingung mengenai siapa anda dan
apa yang anda inginkan, apa yang anda lakukan untuk memperoleh kejelasan?.
·
Masalah Penyisihan Nilai-Nilai Lama
Salah satu masalah dalam terapi adalah
penyisihan nilai-nilai tradisional (dan nilai-nilai yang dialihkan kepada
seseorang) tanpa disertai penemuan nilai-nilai lain yang sesuai untuk
menggantikannya. Apa yang dilakukan oleh terapis jika menghadapi klien yang
tidak lagi berpegang pada nilai-nilai yang tidak pernah sungguh-sungguh
ditantang atau diinternalkan, dank lien tersebut sekarang mengalami keadaan hampa?
Lien membutuhkan petunjuk-petunjuk dan nilai-nilai baru yang cocok dengan
faset-faset yang ditemuinya. Tugas terapis dalam proses terapeutik adalah
membantu klien dalam menciptakan suatu system nilai berlandaskan cara hidup
yang konsisten dengan cara ada-nya
klien.
Terapis harus manaruh kepercayaan
terhadap kesanggupan klien dalam menemukan sistem nilai yang bersumber pada
dirinya sendiri dan yang memungkinkan hidupnya bermakna. Klien tidak diragukan
lagi akan bingung dan mengalami kecemasan sebagai akibat tidak adanya
nialai-nilai yang jelas. Kepercayaan terapis terhadap klien adalah variable
yang penting dalam mengajari klien agar mempercayai kesanggupannya sendiri
dalam menemukan sumber nilai-nilai baru dari dalam dirinya.
·
Belajar untuk menemukan makna dakam
hidup.
Logoterapi, yang dikembangkan oleh Viktor
Frankl, dirancang untuk membantu individu dalam menemukan makna dalam
hidupnya. Menurut Frankl (1959), pencarian makna dalam hidup adalah salah satu
cirri manusia. “Keinginan kepada makna” adalah perjuangan utama manusia. Hidup
tidak memilki makna denagn sendirinya. Manusialah yang harus menciptakan dan
menemukan makna hidup itu.
Dalam pandangan para eksistensialis,
tugas utama konselor adalah mengeksplorasi persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan ketakberdayaan, keputusasaan, ketakbermaknaan, dan kekosongan
eksistensial. Sebenarnya, sejumlah eksistensialis menyatakan bahwa dari
ketidakbermaknaan dan dunia yang absurd kita bisa menemukan sumber kreatifitas,
absurditas dan ketakbermaknaan hidup membiarkan kita menciptakan makna didunia
ini. Tugas proses terapeutik adalah menghadapi masalah ketidakbermaknaan dan
membantu klien dalam membuat makna dari dunia yang kacau.
Frankl
(1959) menandaskan bahwa fungsi terapis bukanlah menyampaikan kepada klien apa
makna hidup yang harus diciptakannya, melainkan mengungkapkan bahwa klien bisa
menemukan makna, bahkan juga dari penderitaan. Dengan pandangannya itu Frankl.
Bukan menyebarkan aroma yang pesimistik dari filsafat eksistensial, melainkan
mengingatkan bahwa penderitaan manusia (aspek-aspek tragis dari hidup) bisa
diubah menjadi prestasi melalui sikap yang diambilnya dalam menghadapi
penderitaan itu. Frankl juga menekankan bahwa orang-orang bisa menghadapi
penderitaan, perasaan berdosa, kematian, dan dalam konfrontasi, menantang
penderitaan, sehingga mencapai kemenangan. Ketidakbermaknaan dan kehampaan
eksistensial adalah masalah-masalah utama yang dihadapi dalam proses terapeutik.
·
Pandangan
eksistensial tentang psikopatologi
Para
terapis eksistensial memandang neurosissebagai kehilangan rasa ada, yang
membawa serta pembatasan kesadaaran dan penutupan kemungkinan-kemungkinan yang
merupakan manifestasi-menifestasi dari ada. Mereka juga menyebut “frustasi
eksistensial” atau “kehampaan eksistensial” sebagai akibat kegagalan ketika
mencari makna dalam hidup.ketidakbernaknaan mengakibatkan kekosongan dan
kehampaan. Pria dan wanita dihantui oleh kekosongan dalam hidup mereka. Oleh
karnanya, mereka menarik diri dari perjuangan mengembangkan dan mengaktualkan
potensi-potensi diri mereka yang unik.
Dosa
eksistensial bekaitan dengan konsep psikopatologi. Dosa eksistensial itu timbul
dari perasaan tidak lengkap atau dari kesadaran seseorang bahwa dirinya menjadi
sebagaimana mestinya. Dosa eksistensial juga merupakan kesadaran pada seseorang
bahwa tindakan-tindakan dan pilihan-pilihannya tidak bisa menyatakan
potensi-potensinya secara penuh sebagaI pribadi. Sampai orang membatasi
pemenjadiannya sendiri, ia menjadi sakit. Penyempitan hidup yang dilakukan
seseorang dalam usala mengatasi hal-hal yang tidak dikenalnya, menhasilkan
pembatasan atas perkembangannya sebagai pribadi.
Kesehatan
psikologis adalah pemanfaatan segenap potensi. Sebaliknya, ketidakmampuan
menggunakan potensi-potensi itumenyebabkan sakit. Petologi, yang dipandang
sebagai sesuatu yang dipelajari, adalah aakibat frustasi batin atau kegagalan
untuk menjadi yang sesuai dengan kemampuannya.
Dalil 5 :
Kecemasan sebagai syarat hidup
Kecemasan
adalah karakteristik dasar manusia. Kecemasan tidak perlu merupakan sesuatu
yang patologis, sebab ia bisa menjadi suatu tenaga motivasional yang kuat untuk
pertumbuhan. Kecemasan adalah akibat dari kesadaran atas tanggung jawab untuk
memilih.
Ø Kecemasan sebagai sumber pertumbuhan
Sebagai karakteristik manusia
yang mendasar, kecemasan adalah reaksi terhadap ancaman. Kecemasan menhyerang
inti keberadaan. Kecemasan adalah apa yang dirasakan ketika keberadaan diri
terancam.Kecemasan bisa menjadi perangsang bagi pertumbuhan, dalam arti bahwa
kita mengalami kecemasan dengan meningkatnya kesadaran kita atas kebebasan dan
atas konsekuensi-konsekuensi dari penerimaan ataupun penolakan kebebasan kita
itu. Sebenarnya, apabila kita membuat sesuatu ptusan yang melibatkan
rekonstruksi hidup kita, kecemasan yang menyertai pembuatan putusan itu bisa
menjadi tanda bahwa kita memang telah siap untuk mengalami perubahan pribadi.
Tanda itu konstruktif, sebab ia memberi tahu kita bahwa tidak semua hal
berjalan baik. Jika kita bisa menangkap pesan-pesan yang terkandung dalam
kecemasan, maka kita kan berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna
mengubah arah hidup kita.
Ø Pelarian dari Kecemasan
Kecemasan adalah
prodik sampingan dari perubahan. Bentuk kecemasan yang konstruktif (kecemasan
eksistensial) adalah fungsi dari penerimaan kita atas kesendirian dan meskipun
kita bisa menemukan hubungan yang bermakna dengan orang lain, kita pada dasrnya
tetap sendirian. Kecemasan eksistensial juga muncul dari perasaan bersalah yang
dialami apabila kita gagal mengaktualkan potensi-potensi kita.
Namun, demikian
banyak klien yang membutuhkan konseling menginginkan penyelesain-penyelesaian
yang membuat mereka mampu tidak menderita oleh kecemasan. Meskipun
usaha-usaha untuk menghindari kecemasan
dengan menciptakan ilusi bahwa dalam hidup ini terdapat keamanan yang dapat
membantu kita mengatasi hal-hal yang tidak dikenal, kita sesungguhnya tahu
sampai taraf tertentu bahwa kita menipu diri ketika mengira bahwa kita telah
menemukan keamanan yang pasti. Kita bisa mementahkan kecemasan dengan membatasi
hidup. Dan dengan demikian mengurangi pilihan-pilhan. Membuka diri terhadap
hidup baru, bagaimanapun, berarti membuka diri terhadap kecemasan, dan kita
berkorban terlalu banyak apabila kita memintas lingkaran kecemasan.
Orang-orang yang memiliki
keberanian untuk menghadapi dirinya sendiri, bagaimanapun, merasa takut. Orang
yang memiliki kesedian untuk hidup dengan ditemani oleh kecemasan adalah orang
yang telah memperoleh keuntungan dari terapi pribadi. Orang yang terlalu cepat
melarikan diri ke dalam pola-pola yang menyenangkan bisa mengalami kelegaan
sementara, tetapi dalam jangka panjang dia bisa mengalami frustasi karena
terpaku pada cara-cara lama.
Ø Implikasi-implikasi konseling bagi kecemasan
Kebanyakan orang
mencari bantuan profesional karena mereka mengalami kecemasan atau depresi.
Banyak klien yang memasuki kantor konselor disertai harapan bahwa konselor akan
mencabut penderitaan mereka atau setidaknya akan memberikan formula tertentu
untuk mengurangi kecemasan mereka. Konselor yang berorientasi eksistensial,
bagaimanapun, bekerja tidak semata-mata untuk menghilangkan gejala-gejala atau
mengurangi kecemasan. Sebenarnya, konselor eksistensial tidak memandang
kecemasan sebagai hal yang tidak diharapkan. Ia akan bekerja dengan cara tertentu sehingga untuk
sementara klien bisa mengalami peningkatan taraf kecemasan.
Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan adalah: bagaimana klien mengatasi
kecemasan? Apakah kecemasan merupakan fungsi dari pertumbuhan ataukah fungsi
kebergantungan pada tingkah laku neorotik? Apakah klien menunjukan keberanian
untuk membiarkan dirinya menghadapi kecemasan atas hal-hal yang tidak
dikenalnya?
Kecemasan adalah bahan bagi konseling
yang produkstif baik konseling individual maupun konseling kelompok. Jika klien
tidak mengalami kecemasan, maka motivasinya untuk berubah akan rendah.
Kecemasan dapat ditransformasikan kedalam energy yang dibutuhkan untuk bertahan
menghadapi resiko bereksperimen dengan tingkah laku baru. Oleh karena itu,
terapis yang berorientasi eksistensial bisa membantu klien untuk menyadari
bahwa belajar menoleransi keberdwiartian dan ketidaktentuan serta belajar
bagaimana hidup tanpa kesadaran dapat merupakan fase yang penting dalam
perjalanan dari hidup bergantung kepada menjadi pribadi yang lebih otonom.
Terapis dan klien bisa mengeksplorasi kemungkinan bahwa, meskipun keluar dari
pola-pola yang melumpuhkan dan pembangunan gaya hidup baru bisa menghasilkan
kecemasan untuk sementara, karena klien lebih merasa puas dengan cara-cara yang
lebih baru dalam mengada, kecemasan akan berkurang. Karena klien mulai dapat
mempercayai diri, maka kecemasan sebagai akibat dugaan akan datangnya bencana
menjadi kurang.
Dalil 6: Kesadaran
atas kematian dan Non-Ada
Kesadaran atas kematian
adalah kondisi manusia mendasar yang memberikan makna pada hidup. Para
eksistensialis tidak memandang kematian secara negative. Menurut mereka,
karakteristik yang khas pada manusia adalah kemampuannya untuk memahami konsep
masa depan dan tak bisa dihindarkan kematian. Justru kesadaran atas akan
terjadinya ketiadaan memberikan makna kepada keberadaan, sebab hal itu
menjadikan setiap tindakan manusia itu berarti.
Para eksistensialis mengungkapkan bahwa hidup
memiliki makna karena memiliki pembatasan waktu. Jika kita memiliki keabadian
untuk mengaktualkan potensi kita, maka tidak aka nada hal yang mendesak. Karena
kita bersifat lahiriah, bagaimanapun, kematian menjadi mendesak bagi kita agar
menganggap hidup dengan serius. Mengingkari bahwa kematian tak dapat
dihindarkan membatasi kemungkinan kayaknya hidup. Hal itu tidak berarti bahwa
hidup dalam terror kematian terus menerus adalah berarti hidup yang sehat, juga
tidak berarti bahwa kita harus tenggelam dalam pemikiran tentang kematian.
Pesan yang terkandung adalah, karena kita bersifat terbatas, waktu kini menjadi
penting bagi kita. Waktu kini amat berharga karena hanya itu lah yang
benar-benar menjadi milik kita.
Ketakutan terhadap kematian dan
ketakutan terhadap kehidupan memiliki kolerasi. Ketakutan terhadap kematian
membayangi mereka yang takut mengulurkan tangan dan benar-benar merangkul
kehidupan. Jika kita mengukuhkan hidup dan berusaha hidup waktu kini
sepenuh-penuhnya, kita tidak akan dihantui oleh berakhirnya kehidupan. Jika
kita takut mati, maka kita juga takut hidup, seakan-akan kita mengatakan, “Kita
takut mati karena kita belum pernah benar-benar hidup.”
Karena beberapa di antara kita merasa
takut menghadapi kenyataan kematian kita sendiri, kita mungkin berusaha untuk
menghindari fakta ketiadaan (nonbeing) yang akan terjadi. Bagaimana pun kita
mencoba melarikan diri dari konfrontasi dengan ketiadaan, maka kita harus
berkorban. Menurut May (1961, hlm.65), “Pengorbanan untuk mengingkari kematian
adalah kecemasan yang tak menentu, mengucilkan diri. Untuk memahami dirinya
dengan sempurna, manusia harus menghadapi kematian dan sadar akan kematian
pribadinya.”
Frankl (1965) sejalan dengan May dan menyebutkan
bahwa kematian memberikan makna kepada keberadaan manusia. Jika kita tidak akan
pernah mati, maka kita bisa menunda tindakan untuk selamanya. Akan tetapi,
karena kita terbatas, apa yang kita lakukan sekarang memiliki arti khusus. Bagi
Frankl, yang menentukan kebermaknaan hidup seseorang bukan namanya, melainkan
bagaimana orang itu hidup.
Ø Implikasi-implikasi konseling
Penulis sampai pada
pandangan bahwa kematian dan kehidupan adalah lawan yang setara. Untuk tumbuh
kita harus bersedia membiarkan dari masa lampau kita berlalu. Bagian-bagian
tertentu dari diri kita harus mati dimensi-dimensi baru harus muncul. Kita
tidak bisa berpegang pada aspek-aspek neurotik masa lampau kita jika kita
seklaligus mengharapkan sisi kita yang lebih kreatif berkembang.
Satu teknik kelompok
yang telah terbukti berguna adalah meminta kepada kelompok orang (klien) untruk
menghayalkan diri mereka berada dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang
sama 10 tahun yang akan datang. Penulis meminta kita mereka untuk membayangkan
bahwa mereka tidak mengikuti putusan-putusan yang telah mereka buat dan bahwa
mereka gagal menerima peluang untuk merubah diri dengan cara yang sangat
diinginkan. Mereka juga diminta
membayangkan bahwa mereka tidak menghadapi bagian-bagian diri yang ditakuti,
bahwa urusan mereka yang tidak selesai tetap tidak terselesaikan, bahwa mereka
tidak menggarap proyek-proyek mereka, dan bahwa mereka memilih untuk tetap
seperti sekarang alih-alih mengambil resiko untuk berubah. Kemudian penulis
meminta kepada mereka untuk berbicara tentang kehidupan mereka seakan-akan
mereka tau bahwa diri mereka sedang mendekati ajal praktek ini bisa
memobilisasi para klien untuk memandang watu yang mereka miliki secara serius
dan ia bisa mencegah mereka menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima
keberadaan seperti zombie alih-alih kehidupan yang lebih sempurna.
Dalil 7. Perjuangan untuk aktualisasi diri
Manusia berjuang untuik aktualisasi diri, yakni
cenderung untuk menjadi pa saja yang mereka mampu. Setiap orang memiliki
dorongan bawaan untuk menjadi seorang pribadi, yakni mereka memiliki
kecenderungan ke arah pengembangan keunikan dan keuntungan, penemuan identitas
pribadi, dan perjuanan demi aktualisasi potensi-porensinya secara penuh. Jika
seseorang mampu mengaktualkan potensi-potensinya sebagai pribadi, maka dia akan
mengalami keputusan yang paling dalam yang bisa dicapai oleh manusia, sebab
demikianlah alam mengharapkan mereka berbuat.
Menjadi pribadi bukanlah sesuatu proses yang
otomatiss, namun setiap orang memiliki hasrat untuk menjadi sesuatu yang sesuai
dengan kemampuannya. Jika biji eik (oak ) bisa secara otomatis tumbuh menjadi
pohon eik, kita manusia menjadi jenis pribadi yang kita pilih. Alam seolah-olah
berada kepada kita, ”Kamu harus menjadi apa saja yang kamu bisa. Menjadi
sesuatu memerlukan keberanian. Apakah kita ingin menjadi sesuatu atau tidak
menjadi sesuatu adalah pilihan kita. Ada pergulatan yang terus menerus dalam
diri kita. Meskipun kita ingin tumbuh kearah kematangan, kemadirian, dan
aktualisasi, kita menyadari bahwa perluasaan diri adalah suatu proses yang
menyakitkan. Itulah sebabnya perjuangan itu adalah antara keamanan dari
kebergantungan dan kesenangan dengan sakitnya pertumbuhan.
Apa saja ciri-ciri orang yang mengaktualkan diri?
Penemuan Abraham Maslow (1968, 1970) dari penelitiannnya terhadap subjek-subjek
yang sehat memberikan kepada kita suatu persepektif untuk memahami sifat
aktualisasi diri. Maslow berbicara
tentang “Psikopatologi orang rata-rata”.
Orang-orang yang disebut normal tidak pernah menumbuhkan diri menjadi
apa yang mereka sanggup. Maslow berargumen bahwa orang-orang yang sehat berbeda
dengan orang-orang yang “normal”, baik jenisnya maupun tingkatannya, dan bahwa
penelitian tentang orang yang sehat maupun yang rata-rata menghasilkan dua
macam psikologi yang berbeda. Ia juga mengkritik orientasi psikologi Freudian
atas penekanannya pada sisi yang sakit dan ketimbangan manusia. Menurutnya,
jika kita melandaskan penemuan kita pada populasi yang sakit, maka kita hanya
akan memiliki psikologi yang sakit. Menurut Maslow pula, perhatian terlalu
banyak diberikan kepada kecemasan, kebencian, neorosis, dan ketidakmatangan
manusia.
Dalam upaya menciptakan psikologi humanistik yang
berfokus pada “bisa menjadi apa seseorang”,
Maslow merancang suatu studi yang menggunakan subjek-subjek yang terdiri
dari orang-orang yang mengaktualkan Diri. Beberapa ciri
yang ditemukan oleh Maslow (1968, 1970) pada orang-orang yang mengaktualkan diri itu
adalah: kesanggupan menoleransi dan bahkan menyebutkan ketidaktentuan dalam hidup mereka, penerimaan terhadap diri
sendiri dan orang lain, kespontanan dan kerativitas kebutuhan akan privacy dan kesendirian, otonomi, kesanggupan menjalin
hungunhgan interpersonal yang mendalam dan intens, perhatian yang tulus
terhadap orang lain, rasa humor, keterarahan kepada diri sendiri (kebalikan
terjadi kecenderungan untuk hidup berdasarkan perharapan orang lain). Dan tidak
adanya dikotomi-dikotomi yang artifisial (seperti kerja-bermain, cinta-benci,
lemah-kuat).
Dalil Maslow tentang aktualisasi
diri memiliki implikasi-implikasi yang jelas bagi praktek psikologi konseling,
sebab tendensi kearah pertumbuhan dan aktualisasi merangkum kekuatan utama
yangmengerakan proses terapeutik. Menurut kodratnya, manusia memiliki dorongan
yang kuat ke arah aktualisasi diri dan ingin mencapai lebih dari sekedar
keberadaan yang aman tetapi statis. Kecenderungan dasarnya adalah mencapai
potensinya yang tinggi sekalipun harus berharap dengan masalah-masalah internal
dan penolakan-penolakan eksternal.
Carl Rogers (1961), seorang tokoh
utama dalam mencapai psikologi humanistik, membangun teori dan praktek
terapinya diatas konsep tentang “pribadi yang berfungsi penuh”, yang sangat
merip dengan “orang yang mengktualkan diri” yang ditemukan Maslow. Rogers
mempercayai dapat dipercayanya sifat manusia dan memandang gerak kearah
berfungsi penuh sebagai suatu kebutuhan dasar. Menurut Rogers, apabila manusia
berfungsi secara bebas, maka dia akan bersifat konstruktif dan dapat dipercaya.
G.
Keritikan dan Kontribusi teori
Humanistik-Eksistensial
Salah
satu kritik terhadap pendekatan eksistensial bagi praktek terapi adalah bahwa
ia tidak memiliki pernyataan yang sistematis mengenai prinsip-prinsip dan
praktek-prakteknpsikoterapi. Pendekatan ini paling sering dikritik karena
kelemahannya dalam metodologi. Sementara kritikus menkritiknya karena bahasa
dan konsepnya yang mistikal. Kritikus lainnya menolaknya karena menganggap nya
sebagai gerakan sementara yang berlandaskan reaksi terhadap pendekatan ilmiah dan positivistik. Orang-orang yang
menyukai praktek terapi yang berdasarkan penelitian menekankan bahwa
konsep-konsep itu harus benar secara empiris, bahwa definisi-definisi harus
dibuat professional, dan bahwa hipotesis-hipotesis harus dapat diuji.
Meskipun
kritik-kritik itu memiliki landasan pembenaran, tetapi eksistensial
sesungguhnya menekankan aspek-aspek yang unik yang oleh pendekatan-pendekatan
lain diabaikan. Greening (1971) dengan baik merangkum humanisme eksistensi
sebagai orientasi yang khas ketika ia menulis :
Humanisme eksistensial sebagai
suatu orientasi psikologi menggabungkan aspek-aspek eksistensialisme dan
humanisme dengan cara yang membuktikan sumbangan-sumbangan keduanya sambil
mencoba menghindari kekurangn-kekurangnnya. Jadi humanisme, eksistensial lebih
meyakinkan dibandingkan banyak eksistensialisme, namun lebih mengenal
keterbatasan dan keniscayaan aktualisasi diri manusia dibandingkan dengan para
humanis yang terpusat pada kesenangan dan pertumbuhan. Humanism eksistensial
mencakuppengakuan eksistensialisme terhadap kekacuan absurditas, keniscayaan,
keputus asaan, “keterlemparan” manusia ke dalam dunia tempat dia sendiri
bertanggung jawab atas pemenjadiaannya. Humanisme eksistensial juga mencakup
dalil humanistik bahwa manusia memiliki petensi yang besar untuk
mentransformasikan dirinya sendiri sebagai suatu dorongan yang tidak bisa
ditekan pada pengalaman pemenuhan dengan menguji batas-batas potensi itu
terhadap hambatan-hambatan yang inheren pada keberadaan. (Greening, 1971,
ham.9).
Fokus
pada sifat manusia, pentingnya hubungan antara terapis dan klien dan kebebasan
klien untuk menetukan nasibnya sendiri adalah aspek-aspek yang berarti.
Pendekatan eksistensial-humanistik tidak mengecilkan manusia menjadi kumpulan
naluri ataupun pengonsisian.
Pendekatan
eksistensial mengembalikan pribadi kepada focus sentral, memberikan gambaran
tentang manusia pada tarafnya yang tinggi. Selain itu, pendekatan eksistensial
juga menunjukan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjasian dan bahwa
manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan
eksistensial secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia –kesadaran
diri dan kebebasab yang konsisten-. Bagi para eksistensial, pemberian
penghargaan kepada pandangan baru tentang kematian adalah suatu hal yang
positif, bukan sesuatu yang tidak sehat yang menjadi pengganti ketakutan, sebab
kematian memberikan makna pada hidup. Selanjutnya, para eksistensial telah
menyumbangkan suatu dimensi baru kepada pemahaman atas kecemasan,
perasaanberdosa, frustasi, kesepian, dan keterkucilan.
Teori
Eksistensial-Humanistik menekankan pada kebebasan, tanggung jawab, dan
kesanggupan individu untuk merancang ulang kehidupannya melalui tindakan
memilih dengan kesadaran.
|
Princess :)
Tagboard :)
Put your Cbox here :) Round of applause :)
Background : SRH Header : Jiba Edit by : You :) |